Poker Uang Asli – Sesaat lamanya aku hanya berdiri di depan pintu
gerbang sebuah rumah mewah tetapi berarsitektur gaya Jawa kuno. Hampir
separuh bagian rumah di depanku itu adalah terbuat dari kayu jati tua
yang super awet. Di depan terdapat sebuah pendopo kecil dengan lampu
gantung kristalnya yang antik. Lantai keramik dan halaman yang luas
dengan pohon-pohon perindangnya yang tumbuh subur memayungi seantero
lingkungannya. Aku masih ingat, di samping rumah berlantai dua itu
terdapat kolam ikan Nila yang dicampur dengan ikan Tombro, Greskap, dan
Mujair. Sementara ikan Geramah dipisah, begitu juga ikan Lelenya.
Dibelakang sana masih dapat kucium adanya peternakan ayam kampung dan
itik. Tante Yustina memang seorang arsitek kondang dan kenamaan.
Enam
tahun aku tinggal di sini selama sekolah SMU sampai D3-ku, sebelum
akhirnya aku lulus wisuda pada sebuah sekolah pelayaran yang mengantarku
keliling dunia. Kini hampir tujuh tahun aku tidak menginjakkan kakiku
di sini. Sama sekali tidak banyak perubahan pada rumah Tante Yus. Aku
bayangkan pula si Vivi yang dulu masih umur lima tahun saat
kutinggalkan, pasti kini sudah besar, kelas enam SD.
Kulirik jarum
jam tanganku, menunjukkan pukul 23:35 tepat. Masih sesaat tadi kudengar
deru lembut taksi yang mengantarku ke desa Kebun Agung, sleman yang
masih asri suasana pedesaannya ini. Suara jangkrik mengiringi langkah
kakiku menuju ke pintu samping. Sejenak aku mencari-cari dimana dulu
Tante Yus meletakkan anak kuncinya. Tanganku segera meraba-raba
ventilasi udara di atas pintu samping tersebut. Dapat. Aku segera
membuka pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Sejenak aku melepas
sepatu ket dan kaos kakinya. Hmm, baunya harum juga. Hanya remang-remang
ruangan samping yang ada. Sepi. Aku terus saja melangkah ke lantai dua,
yang merupakan letak kamar-kamar tidur keluarga. Aku dalam hati
terus-menerus mengagumi figur Tante Yus. Walau hidup menjada, sebagai
single parents, toh dia mampu mengurusi rumah besar karyanya sendiri
ini. Lama sekali kupandangi foto Tante Yus dan Vivi yang di belakangnya
aku berdiri dengan lugunya. Aku hanya tersenyum.
Kuperhatikan celah di bawah pintu kamar Vivi sudah gelap. Aku terus
melangkah ke kamar sebelahnya. Kamar tidur Tante Yus yang jelas sekali
lampunya masih menyala terang. Rupanya pintunya tidak terkunci. Kubuka
perlahan dan hati-hati. Aku hanya melongo heran. Kamar ini kosong
melompong. Aku hanya mendesah panjang. Mungkin Tante Yus ada di ruang
kerjanya yang ada di sebelah kamarnya ini. Sebentar aku menaruh tas
ransel parasit dan melepas jaket kulitku. Berikutnya kaos oblong Jogja
serta celana jeans biruku. Kuperhatikan tubuhku yang hitam ini kian
berkulit gelap dan hitam saja. Tetapi untungnya, di tempat kerjaku pada
sebuah kapal pesiar itu terdapat sarana olah raga yang komplit, sehingga
aku kian tumbuh kekar dan sehat.
Tidak perduli dengan kulitku
yang legam hitam dengan rambut-rambut bulu yang tumbuh lebat di sekujur
kedua lengan tangan dan kakiku serta dadaku yang membidang sampai ke
bawahnya, mengelilingi pusar dan terus ke bawah tentunya. Air. Ya aku
hanya ingin merasakan siraman air shower dari kamar mandi Tante Yus yang
bisa hangat dan dingin itu.
Aku hendak melepas cawat hitamku saat kudengar sapaan yang sangat kukenal itu dari belakangku, “Andrew..? Kaukah itu..?”
Aku
segera memutar tubuhku. Aku sedikit terkejut melihat penampilan Tante
Yus yang agak berbeda. Dia berdiri termangu hanya mengenakan kemeja
lengan panjang dan longgar warna putih tipis tersebut dengan dua kancing
baju bagian atasnya yang terlepas. Sehingga aku dapat melihat belahan
buah dadanya yang kuakui memang memiliki ukuran sangat besar sekali dan
sangat kencang, serta kenyal. Aku yakin, Tante Yus tidak memakai BH,
jelas dari bayangan dua bulatan hitam yang samar-samar terlihat di ujung
kedua buah dadanya itu. Rambutnya masih lebat dipotong sebatang
bahunya. Kulit kuning langsat dan bersih sekali dengan warna cat kukunya
yang merah muda.
“Ngg.., selamat malam Tante Yus… maaf,
keponakanmu ini datang dan untuk berlibur di sini tanpa ngebel dulu.
Maaf pula, kalau tujuh tahun lamanya ini tidak pernah datang kemari.
Hanya lewat surat, telpon, kartu pos, e-mail.., sekali lagi, saya minta
maaf Tante. Saya sangat merindukan Tante..!” ucapku sambil kubiarkan
Tante Yus mendekatiku dengan wajah haru dan senangnya.
“Ouh Andrew…
ouh..!” bisik Tante Yus sambil menubrukku dan memelukku erat-erat sambil
membenamkan wajahnya pada dadaku yang membidang kasar oleh rambut.
Aku sejenak hanya membalas pelukannya dengan kencang pula, sehingga
dapat kurasakan desakan puting-puting dua buah dadanya Tante Yus.
“Kau
pikir hanya kamu ya, yang kangen berat sama Tante, hmm..? Tantemu ini
melebihi kangennya kamu padaku. Ngerti nggak..? Gila kamu Andrew..!”
imbuhnya sambil memandangi wajahku sangat dekat sekali dengan kedua
tangannya yang tetap melingkarkan pada leherku, sambil kemudian
memperhatikan kondisi tubuhku yang hanya bercawat ini.
Tante Yustina tersenyum mesra sekali. Aku hanya menghapus air matanya. Ah Tante Yus…
“Ya, untuk itulah aku minta maaf pada Tante…”
“Tentu saja, kumaafkan..” sahutnya sambil menghela nafasnya tanpa
berkedip tetap memandangiku, “Kamu tambah gagah dan ganteng Andrew.
Pasti di kapal, banyak crew wanita yang bule itu jatuh cinta padamu.
Siapa pacarmu, hmm..?”
“Belum punya Tan. Aku masih nabung untuk
membina rumah tangga dengan seorang, entah siapa nanti. Untuk itu, aku
mau minta Tante bikinkan aku desain rumah…”
“Bayarannya..?” tanya Tante Yus cepat sambil menyambar mulutku dengan bibir tipis Tante Yus yang merah.
Aku
terkejut, tetapi dalam hati senang juga. Bahkan tidak kutolak Tante Yus
untuk memelukku terus menerus seperti ini. Tapi sialnya, batang
kemaluanku mulai merinding geli untuk bangkit berdiri. Padahal di tempat
itu, perut Tante Yus menekanku. Tentu dia dapat merasakan perubahan
kejadiannya.
“Aku… ngg…”
“Ahh, kamu Andrew. Tante sangat
kangen padamu, hmm… ouh Andrew… hmm..!” sahut Tante Yus sambil menerkam
mulutku dengan bibirnya.
Aku sejenak terkejut dengan serbuan ganas
mulut Tante Yus yang kian binal melumat-lumat mulutku, mendasak-desaknya
ke dalam dengan buas. Sementara jemari kedua tangannya menggerayangi
seluruh bagian kulit tubuhku, terutama pada bagian punggung, dada, dan
selangkanganku. Tidak karuan lagi, aku jadi terangsang. Kini aku berani
membalas ciuman buas Tante Yus. Nampaknya Tante Yus tidak mau mengalah,
dia bahkan tambah liar lagi. Kini mulut Tante Yus merayap turun ke
bawah, menyusuri leherku dan dadaku. Beberapa cupangan yang meninggalkan
warna merah menghiasi pada leher dan dadaku. Kini dengan liar Tante Yus
menarik cawatku ke bawah setelah jongkok persis di depan selangkanganku
yang sedikit terbuka itu. Tentu saja, batang kemaluanku yang sebenarnya
telah meregang berdiri tegak itu langsung memukul wajahnya yang cantik
jelita.
“Ouh, gila benar. Tititmu sangat besar dan kekar, An. Ouh…
hmmm..!” seru bergairah Tante Yus sambil memasukkan batang kejantananku
ke dalam mulutnya, dan mulailah dia mengulum-ngulum, yang seringkali
dibarengi dengan mennyedot kuat dan ganas.
Sementara tangan kanannya
mengocok-ngocok batang kejantananku, sedang jemari tangan kirinya
meremas-remas buah kemaluanku. Aku hanya mengerang-ngerang merasakan
sensasi yang nikmat tiada taranya. Bagaimana tidak, batang kemaluanku
secara diam-diam di tempat kerjaku sana, kulatih sedemikian rupa,
sehingga menjadi tumbuh besar dan panjang. Terakhir kuukur, batang
kejantanan ini memiliki panjang 25 sentimeter dengan garis lingkarnya
yang hampir 20 senti. Rambut kemaluan sengaja kurapikan.
Tante Yus
terus menerus masih aktif mengocok-ngocok batang kemaluanku. Remasan
pada buah kemaluanku membuatku merintih-rintih kesakitan, tetapi nikmat
sekali. Bahkan dengan gilanya Tante Yus kadangkala memukul-mukulkan
batang kemaluanku ini ke seluruh permukaan wajahnya. Aku sendiri
langsung tidak mampu menahan lebih lama puncak gairahku. Dengan
memegangi kepala Tante Yus, aku menikam-nikamkan batang kejantananku
pada mulut Tante Yus. Tidak karuan lagi, Tante Yus jadi tersendak-sendak
ingin muntah atau batuk. Air matanya malah telah menetes, karena batang
kejantananku mampu mengocok sampai ke tenggorokannya.
Pada satu
kesempatan, aku berhasil mencopot kemejanya. Aku sangat terkejut saat
melihat ukuran buah dadanya. Luar biasa besarnya. Keringat benar-benar
telah membasahi kedua tubuh kami yang sudah tidak berpakaian lagi ini.
Dengan ganas, kedua tangan Tante Yus kini mengocok-ngocok batang
kemaluanku dengan genggamannya yang sangat erat sekali. Tetapi karena
sudah ada lumuran air ludah Tante Yus, kini jadi licin dan mempercepat
proses ejakulasiku.
“Crooot… cret.. croot… creeet..!” menyemprot air maniku pada mulut Tante Yus.
Saat spremaku muncrat, Tante Yus dengan lahap memasukkan batang
kemaluanku kembali ke dalam mulutnya sambil mengurut-ngurutnya, sehingga
sisa-sisa air maniku keluar semua dan ditelan habis oleh Tante Yus.
“Ouhh… ouh.. auh Tante… ouh..!” gumamku merasakan gairahku yang indah ini dikerjai oleh Tante Yus.
“Hmmm… Andrew… ouh, banyak sekali air maninya. Hmmm.., lezaat sekali.
Lezat. Ouh… hmmm..!” bisik Tante Yus menjilati seluruh bagian batang
kemaluanku dan sisa-sisa air maninya.
Sejenak aku hanya mengolah nafasku, sementara Tante Yus masih mengocok-ngocok dan menjilatinya.
“Ayo, Andrew… kemarilah Sayang.., kemarilah Baby..!” pintanya sambil
berbaring telentang dan membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.
Aku
tanpa membuang waktu lagi, terus menyerudukkan mulutku pada celah
vagina Tante Yus yang merekah ingin kuterkam itu. Benar-benat lezat.
Vagina Tante Yus mulai kulumat-lumat tanpa karuan lagi, sedangkan
lidahku menjilat-jilat deras seluruh bagiang liang vaginanya yang dalam.
Berulang kali aku temukan kelentitnya lewat lidahku yang kasar. Rambut
kemaluan Tante Yus memang lebat dan rindang. Cupangan merah pun kucap
pada seluruh bagian daging vagina Tante Yus yang menggairahkan ini.
Tante Yus hanya menggerinjal-gerinjal kegelian dan sangat senang sekali
nampaknya. Kulirik tadi, Tante Yus terus-menerus melakukan remasan pada
buah dadanya sendiri sambil sesekali memelintir puting-putingnya.
Berulang kali mulutnya mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku
menciumi mulut vaginanya dan menerik-narik daging kelentitnya.
“Ouh Andrew… lakukan sesukamu.. ouh.., lakukan, please..!” pintanya mengerang-erang deras.
Selang sepuluh menit kemuadian, aku kini merayap lembut menuju
perutnya, dan terus merapat di seluruh bagian buah dadanya. Dengan ganas
aku menyedot-nyedot puting payudaranya. Tetapi air susunya sama sekali
tidak keluar, hanya puting-puting itu yang kini mengeras dan memanjang
membengkak total. Di buah dadanya ini pula aku melukiskan cupanganku
banyak sekali. Berulang kali jemariku memilin-milin gemas puting-puting
susu Tante Yus secara bergantian, kiri kanan. Aku kini tidak tahan lagi
untuk menyetubuhi Tanteku. Dengan bergegas, aku membimbing masuk batang
kemaluanku pada liang vaginanya.
“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo…
genjot Andrew..!” teriak Tante Yus saat merasakan batang kejantananku
mulai menikam-nikam liar mulut vaginanya.
Sambil menopang tubuhku
yang berpegangan pada buah dadanya, aku semakin meningkatkan irama
keluar masuk batang kemaluanku pada vagina Tante Yus. Wanita itu hanya
berpegangan pada kedua tanganku yang sambil meremas-remas kedua buah
dadanya.
“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang sangat indah mengiringi dengan alunan lembut.
Selang dua puluh menit puncak klimaks itu kucapai dengan sempurna, “Creeet… croot… creeet..!”
“Ouuuhhhkk.. aooouhkk… aaahhk..,” seru Tante Yus menggelepar-gelepar lunglai.
“Tante… ouhhh..!” gumamku merasakan keletihanku yang sangat terasa di seluruh bagian tubuhku.
Dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap erat pada vagiana Tante Yus, kami jatuh tertidur. Tante Yus berada di atasku.
Karena
kelelahanku yang sangat menguasai seluruh jaringan tubuhku, aku
benar-benar mampu tertidur dengan pulas dan tenang. Entah sudah berapa
lama aku tertidur pulas, yang jelas saat kubangun udara dingin segera
menyergapku. Sial. Aku sadar, ini di desa dekat Merapi, tentu saja
dingin. Tidak berapa lama jam dinding berdentang lima sampai enam kali.
Jam enam pagi..! Dengan agak malas aku beranjak berdiri, tetapi tidak
kulihat Tante Yus ada di kamar ini. Sepi dan kosong. Dimana dia..? Aku
terus mencoba ingin tahu. Dalam keadaan bugil ini, aku melangkah
mendekati meja lampu. Secarik kertas kutemukan dengan tulisan dari
tangan Tante Yustina.
Andrew sayang, Tante kudu buru-buru ke
Jakarta pagi ini. Udah dijemput. Ada pameran di sana. Tolong jaga rumah
dan Vivi. Ttd, Yustina.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Gila,
setelah menikmati diriku, dia minggat. Tetapi tidak apa-apa, aku dapat
beristirahat total di sini, ditemani Vivi. Eh, tapi dimana dia..? Aku
segera mengambil selembar handuk putih kecil yang segera kulilitkan pada
tubuh bawahku. Tanpa membuang waktu lagi aku segera menyusuri rumah,
dari ruang ke ruang dari kamar ke kamar. Tetapi sosok bocah SD itu tidak
kelihatan sama sekali. Aku hampir putus asa, tetapi mendadak aku
mendengar suara gemericik air pancuran dari kamar mandi ruang tamu di
depan sana. Vivi. Ya itu pasti dia. Aku segera memburu.
Kubuka
pintu kamar tamu yang luas dan asri ini. Benar. Kulihat pintu kamar
mandinya tidak ditutup, ada bayangan orang di situ yang sedang mandi
sambil bernyanyi melagukan Westlife. Edan, anak SD nyanyinya begitu. Aku
hanya tersenyum saja. Perlahan aku mendekati gawang pintu. Aku seketika
hanya menelan ludahku sendiri. Vivi berdiri membelakangiku masih asyik
bergoyang-goyang sambil menggosok seluruh tubuhnya yang telanjang bulat
itu dengan sabun. Rambut panjangnya tumbuh lurus dan hitam sebatas
pinggang. Berkulit kuning langsat dan nampaknya halus sekali. Kusadari
dia telah tumbuh lebih dewasa.
Air shower masih menyiraminya
dengan hangat. Pantatnya sungguh indah bergerak-gerak penuh gairah.
Hanya aku belum lihat buah dadanya. Tanpa kuduga, Vivi membalikkan
badannya. Aku yang melamun, seketika terkejut bukan main, takut dan
khawatir membuatnya kaget lalu marah besar. Ternyata tidak.
“Mas..? Mas Andrew..?” bertanya Vivi tidak percaya dengan wajah senang bercampur kaget.
Aku hanya menghela nafas lega. Dapat kuperhatikan kini, buah dadanya
Vivi telah tumbuh cukup besar. Puting-putingnya hitam memerah kelam dan
tampak menonjol indah. Kira-kira buah dadanya ya, sekitar seperti tutup
gelas itu. Seperti belum tumbuh, tetapi kok terlihat sudah memiliki
daging menonjolnya. Sedangkan rambut kemaluannya sama sekali belum
tumbuh. Masih bersih licin.
“Hai vivi, apa kabarnya..?” tanyaku mendekat.
Vivi hanya tersenyum, “Masih ingat ketika kita renang bersama di
rumahku dulu..? Kita berdua kan..? Hmm..?” sambungku meraih bahunya.
Air terus menyirami tubuhnya, dan kini juga tubuhku. Vivi mengangguk ingat.
“Ya. Ngg.., bagaimana kalau kita mandi bareng lagi Mas. Vivi kangen… mas andrew.. ouh..!” ujarnya memeluk pinggangku.
Aku mengangkut tubuhnya yang setinggi dadaku ini dengan erat.
“Tentu saja, yuk..!”
Aku menurunkan Vivi.
“Kapan Mas datangnya..?”
“Tadi malam. Vivi lagi tidur ya..?”
“Hm.. Mh..!”
Aku melepas handukku yang kini basah. Saat kulepas handukku, Vivi
tampak kaget melihat rambut kemaluanku yang tumbuh rapih. Segera saja
tangannya menjamah buah kemaluan dan bantang kejantananku.
“Ouh.., Mas sudah punya rambut lebat ya. Vivi belum Mas..,” ujarnya sambil memperhatikan vaginanya yang kecil.
Tentu saja aku jadi geli, batang kemaluanku diraba-raba dan ditimang-timang jemari tangan mungil Vivi yang nakal ini.
“Itu
karena Vivi masih kecil. Nanti pasti juga memiliki rambut kemaluan.
Hmm..?” ucapku sambil membelai wajahnya yang manis sekali.
Vivi hanya tersipu. Sialnya, aku kini jadi kian geli saat Vivi menarik-narik batang kejantananku dengan candanya.
“Ihhh.., kenyal sekali… ouh.., seperti belalai ya Mas..!”
Aku jadi terangsang. Gila.
“Belalai ini bisa akan jadi tumbuh besar dan panjang lho. Vivi mau lihat..?”
“Iya Mas.., gimana tuh..?”
“Vivi mesti mengulum, menghisap-hisap dan menyedotnya dengan kuat
sekali batang zakar ini. Gimana..? Enak kok..!” kataku merayu dengan
hati yang berdebar-debar kencang.
Vivi sejenak berpikir, lalu tanpa
menoleh ke arahku lagi, dia memasukkan ujung batang kejantananku ke
dalam mulutnya. Wow..! Gadis kecil ini langsung melakukan perintahku,
lebih-lebih aku mengarahkan juga untuk mengocok-ngocok batang kemaluanku
ini, Vivi menurut saja, dia malah kegirangan senang sekali. Dianggapnya
batang ku adalah barang mainan baginya.
“Iya Mas. Tambah besar sekali dan panjang..!” serunya kembali melumat-lumatkan batang kejantananku dan mengocok keras batangnya.
Sekarang Vivi kuajari lagi untuk meremas buah kemaluanku. Aku
membayangkan semua itu bahwa Tante Yus yang melakukan. Indah sekali
sensasinya. Tetapi nyatanya aku tengah dipompa nafsu seksku dari bocah
cilik ini. Edan, sepupuku lagi. Tetapi apa boleh buat. Aku lagi kebelet
sekali kini. Yang ada hanyalah Vivi yang lugu dan bodoh tetapi
mengasyikan sekali. Batang kejantananku kini benar-benar telah tumbuh
sempurna keras dan panjangnya. Vivi kian senang. Aku kian tidak tahan.
“Teruskan Vi, teruskan… ya.., ya… lebih keras dan kenceng… lakukanlah Sayang..!” perintahku sambil mengerang-erang.
Setelah hampir lima belas menit kemudian, air maniku muncrat tepat di dalam mulut Vivi yang tengah menghisap batang kemaluanku.
“Creeet… crooot.. creet.. cret..!”
“Hup.. mhhhp..!” teriak kaget Vivi mau melepaskan batang kemaluanku.
Tetapi secepat itu pula dia kutahan untuk tetap memasukkan batang kemaluanku di dalam mulutnya.
“Telan
semua spermanya Vi. Itu namanya sperma. Enak sekali kok, bergizi
tinggi. Telan semuanya, ya.. yaaa… begitu… terus bersihkan sisa-sisanya
dari batangnya Mas..!” perintahku yang dituruti dengan sedikit enggan.
Tetapi lama kelamaan Vivi tampak keasyikan mencari-cari sisa air maniku.
“Enak sekali Mas. Tapi kental dan baunya, hmm.., seperti air tajin saat
Mama nanak nasi..! Enak pokoknya..! Lagi dong Mas, keluarkan
spermanya..!”
Gila. Gila betul. Aku masih mencoba mengatur jalannya nafasku, Vivi minta spermaku lagi..? Edan anak ini.
“Baik, tapi kini Vivi ikuti perintahku ya..! Nanti tambah asyik, tapi sakit. Gimana..?”
“Kalau enak dan asyik, mauh. Nggak papa sakit dikit. Tapi spermanya ada lagi khan..?”
Aku mengangguk. Vivi mulai kubaringkan sambil kubuka kedua belahan
pahanya yang mulus itu untuk melingkari di pinggangku. Vivi
memperhatikan saja. Air dari shower masih mengucuri kami dengan dingin
setelah tadi sempat kuganti ke arah cool.
“Auuuh, aduh.. Mas..!”
teriak vivi kaget saat aku memasukkan batang kejantananku ke dalam liang
vaginanya yang jelas-jelas sangat sempit itu.
Tetapi aku tidak
perduli lagi. Kukocok vagina Vivi dengan deras dan kencang sambil
kuremas-remas buah dadanya yang kecil, serta menarik-narik puting-puting
buah dadanya dengan gemas sekali. Vivi semakin menjerit-jerit kesakitan
dan tubuhnya semakin menggerinjal-gerinjal hebat.
“Sakiiit.. auuuh
Mas.., Mas hentikan saja… sakiiit, perih sekali Mas, periiihhh… ouuuh
akkkh… aouuuhkkk..!” menjerit-jerit mulut manisnya itu yang segera saja
kuredam dengan melumat-lumat mulutnya.
“Blesep.. blesep… slebb..!” suara persetubuhkan kami kian indah dengan siraman shower di atas kami.
Aku semakin edan dan garang. Gerakan tubuhku semakin kencang dan cepat.
Dapat kurasakan gesekan batang kemaluanku yang berukuran raksasa ini
mengocok liang vaginan Vivi yang super rapat sempitnya. Dari posisi ini,
aku ganti dengan posisi Vivi yang menungging, aku menyodok vaginanya
dari belakang. Lalu ke posisi dia kupangku, sedangkan aku yang bergerak
mengguncangkan tubuhnya naik, lalu kuterima dengan menikam ke atas
menyambut vaginanya yang melelehkan darah.
“Tidak Masss… ouh sakit.. uhhk… huuuk… ouhhh… sakiiit..!” tangisnya sejadi-jadinya.
Tetapi aku tidak perduli, sepuluh posisi kucobakan pada tubuh bugil
mungil Vivi. Bahkan Vivi nyaris pingsan. Tetapi disaat gadis itu hendak
pingsan, puncak ejakulasiku datang.
“Creeet… crooot.. sreeet… crreeet..!” muncratnya air mani yang memenuhi liang vaginanya Vivi bercampur dengan darahnya.
Vivi jatuh pingsan. Aku hanya mengatur nafasku saja yang tidak karuan.
Lemas. Vivi pingsan saat aku memasangkan kembali batang kemaluanku ke
posisi dia, kugendong di depan dengan dadanya merapat pada dadaku.
Pelan-pelan kujatuh menggelosor ke bawah dengan batang kemaluanku yang
masih menancap erat di vaginanya.
Itulah pengalamanku dengan Tante Yus dan putrinya Vivi yang keduanya memang binal itu. Teriring salam untuk Vivi.
No comments:
Post a Comment