Poker Uang Asli - Sebagai bu RT yang mendampingi Pak RT, walau umur sudah
cukup matang penampilan tetap harus enak dilihat. Usia Bu Haritono
sebenarnya tidak muda lagi bisa disebut ibu setengah baya. Mungkin
menjelang 40 tahun. Sebab suaminya, Pak Hariiono yang menjabat Ketua RT
di kampungku sebentar lagi memasuki masa pensiun. Aku mengetahui itu
karena hubunganku dgn keluarga Pak Hariiono cukup dekat. Maklum sebagai
tenaga muda aku sering diminta Pak Hariiono untuk membantu berbagai
urusan yang berkaitan dgn kegiatan RT.
Namun berbeda dgn
suaminya yang sering sakit-sakitan, sosok istrinya wanita beranak yang
kini menetap di luar Jawa mengikuti tugas sang suami itu, jauh
berkebalikan. Kendati usianya hampir memasuki kepala empat, Bu Hari
(begitu biasanya aku dan warga lain memanggil) sebagai wanita belum
kehilangan daya tariknya. Memang beberapa kerutan mulai nampak di
wajahnya. Tetapi buah dadanya, pinggul dan pantatnya, sungguh masih
mengundang pesona. Aku dapat mengatakan ini karena belakangan terlibat
perselingkuhan panjang dgn wanita berpostur tinggi besar tersebut..
Kisahnya
berawal ketika Pak Hariiono mendadak menderita sakit cukup serius. Ia
masuk rumah sakit dalam keadaan koma dan bahkan berhari-hari harus
berada di ruang ICU (Intensive Care Unit) sebuah RS pemerintah di
kotaku. Karena ia tidak memiliki anggota keluarga yang lain sementara
putri satu-satunya berada di luar Jawa, aku diminta Bu Hari untuk
membantu menemaninya selama suaminya berada di RS menjalani perawatan.
Dan aku tidak bisa menolak karena memang masih menganggur setamat SMA
setahun lalu.
“Kami bapak-bapak di lingkungan RT meminta Mas
Rhidhoo mau membantu sepenuhnya keluarga Pak Hariiono yang sedang
tertimpa musibah. Khususnya untuk membantu dan menemani Bu Hari selama
di rumah sakit. Mau kan Mas Rhidhoo,?”
Begitu kata beberapa anggota arisan bapak-bapak kepadaku saat
menengok ke rumah sakit. Bahkan Pak Nandang, seorang warga yang dikenal
dermawan secara diam-diam menyelipkan uang Rp 100 ribu di kantong
celanaku yang katanya untuk membeli rokok agar tidak menyusahkan Bu
Hari. Dan aku tidak bisa menolak karena memang Bu Hari sendiri telah
memintaku untuk menemaninya. Hari-hari pertama mendampingi Bu Hari
merawat suaminya di RS aku dibuat sibuk. Harus mondar-mandir menebus
obat atau membeli berbagai keperluan lain yang dibutuhkan. bahkan
kulihat wanita itu tak sempat mandi dan sangat kelelahan. Mungkin karena
tegang suaminya tak kunjung siuman dari kondisi komanya.
Menurut
dokter yang memeriksa, kondisi Pak Hariiono yang memburuk diduga akibat
penyakit radang lambung akut yang diderita. Maka akibat komplikasi dgn
penyakit diabetis yang diidapnya cukup lama, daya tahan tubuhnya menjadi
melemah. Menyadari penyakit yang diderita tersebut, yang kata dokter
proses penyembuhannya dapat memakan waktu cukup lama, berkali-kali aku
meminta Bu Hari untuk bersabar.
“Sudahlah bu, ibu pulang dulu
untuk mandi atau beristirahat. Sudah dua hari saya lihat ibu tidak
sempat mandi. Biar saya yang di sini menunggui Pak Hari,” kataku
menenangkan.
Saranku rupanya mengena dan diterima. Maka siang itu,
ketika serombongan temannya dari tempatnya mengajar di sebuah SLTP
membesuk (oh ya Bu Hari berprofesi sebagai guru sedang Pak Hari karyawan
sebuah instansi pemerintah) ia meminta para pembesuk untuk menunggui
suaminya.
“Saya mau pulang dulu sebentar untuk mandi diantar Nak
Rhidhoo. Sudah dua hari saya tidak sempat mandi,” katanya kepada
rekan-rekannya.
dgn sepeda motor milik Pak Hari yang sengaja
dibawa untuk memudahkan aku kemana-mana saat diminta tolong oleh
keluarga itu, aku pulang memboncengkan Bu Hari. Tetapi di perjalanan
dadaku sempat berdesir. Gara-gara mengerem mendadak motor yang
kukendarai karena nyaris menabrak becak, tubuh wanita yang kubonceng
tertolak ke depan. Akibatnya di samping pahaku tercengkeram tangan Bu
Hari yang terkaget akibat kejadian tak terduga itu, punggungku terasa
tertumbuk benda empuk. Tertumbuk buah dadanya yang ku yakini ukurannya
cukup besar. Ah, pikiran nakalku jadi mulai liar. Sambil berkonsentrasi
dgn sepeda motor yang kukendarai, pikiranku berkelana dan mengkira-kira
membayangkan seberapa besar buah dada milik wanita yang memboncengku.
Pikiran kotor yang semestinya tidak boleh timbul mengingat suaminya
adalah seorang yang kuhormati sebagai Ketua RT di kampungku. Pikiran
nyeleneh itu muncul, mungkin karena aku memang sudah tidak perjaka lagi.
Aku pernah berhubungan seks dgn seorang WTS kendati
hanya satu kali. Hal itu dilakukan dgn beberapa teman SMA saat usai
pengumuman hasil Ebtanas. Setelah mengantar Bu Hari ke rumahnya yang
berjarak sekitar 100 meter dari rumahku, aku pamit pulang mengambil
sarung dan baju untuk ganti.
“Jangan lama-lama nak Rhidhoo, ibu
cuma sebentar kok mandinya. Lagian kasihan teman-teman ibu yang menunggu
di rumah sakit,” katanya.
Dan sesuai yang dipesannya, aku segera
kembali ke rumah Pak Hari setelah mengambil sarung dan baju. Langsung
masuk ke ruang dalam rumah Pak Hari. Ternyata, di meja makan telah
tersedia segelas kopi panas dan beberapa potong kue di piring kecil. Dan
mengetahui aku yang datang, terdengar suara Bu Hari menyuruhku untuk
menikmati hidangan yang disediakan.
“Maaf Nak Rhidhoo, ibu masih mandi. Sebentar lagi selesai,”
suaranya
terdengar dari kamar mandi di bagian belakang. Tidak terlalu lama
menunggu, Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menuju ke kamarnya
lewat di dekat ruang makan tempatku minum kopi dan makan kue. Saat itu
ia hanya melilitkan handuk yang berukuran tidak terlalu besar untuk
menutupi tubuhnya yang basah. Tak urung, kendati sepintas, aku sempat
disuguhi pemandangan yang mendebarkan. Betapa tidak, karena handuk
mandinya tak cukup besar dan lebar, maka tidak cukup sempurna untuk
dapat menutupi ketelanjangan tubuhnya.
Ah,.. benar seperti
dugaanku, buah dada Bu Hari memang berukuran besar. Bahkan terlihat
nyaris memberontak keluar dari handuk yang melilitnya.
Bu Hari
nampaknya mengikat sekuatnya belitan handuk yang dikenakannya tepat di
bagian dadanya. Sementara di bagian bawah, karena handuk hanya mampu
menutup persis di bawah pangkal paha, kaki panjang wanita itu sampai ke
pangkalnya sempat menarik tatap mataku. Bahkan ketika ia hendak masuk ke
kamarnya, dari bagian belakang terlihat mengintip buah pantatnya.
Pantat besar itu bergoyang-goyang dan sangat mengundang saat ia
melangkah. Dan yang tak kalah syur, ia tidak mengenakan celana dalam.
Bicara ukuran buah dadanya, mungkin untuk membungkusnya diperlukan Bra
ukuran 38 atau lebih. Sebagai wanita yang telah berumur, pinggangnya
memang tidak seramping gadis remaja. Tetapi pinggulnya yang membesar
sampai ke pantatnya terlihat membentuk lekukan menawan dan sedap
dipandang. Apalagi kaki belalang dgn paha putih mulus miliknya itu,
sungguh masih menyimpan magnit. Maka degup jantungku menjadi kian
kencang terpacu melihat bagian-bagian indah milik Bu Hari. Sayang cuma
sekilas, begitu aku membatin
Tetapi ternyata tidak.
Kesempatan kembali terulang. Belum hilang debaran dadaku, ia kembali
keluar dari kamar dan masih belum mengganti handuknya dgn pakaian. Tanpa
mempedulikan aku yang tengah duduk terbengong, ia berjalan mendekati
almari di dekat tempatku duduk. Di sana ia mengambil beberapa barang
yang diperlukan. Bahkan beberapa kali ia harus membungkukkan badan
karena sulitnya barang yang dicari (seperti ia sengaja melakukan hal
ini). Tak urung, kembali aku disuguhi tontonan yang tak kalah
mendebarkan. Dalam jarak yang cukup dekat, saat ia membungkuk, terlihat
jelas mulusnya sepasang paha Bu Hari sampai ke pangkalnya. Paha yang
sempurna, putih mulus dan tampak masih kencang.
Dan
ketika ia membungkuk cukup lama, pantat besarnya jadi sasaran tatap
mataku. Kemaluannya juga terlihat sedikit mengintip dari celah pangkal
pahanya. Perasaanku menjadi tidak karuan dan badanku terasa panas dingin
dibuatnya.
Apakah Bu Hari menganggap aku masih pemuda ingusan?
Hingga ia tidak merasa canggung berpakaian seronok di hadapanku? Atau ia
menganggap dirinya sudah terlalu tua hingga mengira bagian-bagian
tubuhnya tidak lagi mengundang gairah seorang laki-laki apalagi
laki-laki muda sepertiku? Atau malah ia sengaja memamerkannya agar
gairahku terpancing?
Pertanyaan-pertanyaan itu serasa berkecamuk
dalam hatiku. Bahkan terus berlanjut ketika kami kembali berboncengan
menuju rumah sakit. Dan yang pasti, sejak saat itu perhatianku kepada Bu
Hari berubah total.
Aku menjadi sering mencuri-curi pandang untuk
dapat menatapi bagian-bagian tubuhnya yang kuanggap masih aduhai.
Apalagi setelah mandi dan berganti pakaian, kulihat ia mengenakan celana
dan kaos lengan panjang ketat yang seperti hendak mencetak tubuhnya.
Gairahku jadi kian terbakar kendati tetap kupendam dalam-dalam. Dan
perubahan yang lain, aku sering mengajaknya berbincang tentang apa saja
di samping selalu sigap mengerjakan setiap ia membutuhkan bantuan.
Hingga hubungan kami semakin akrab dari waktu ke waktu. Sampai suatu
malam, memasuki hari kelima kami berada di rumah sakit, saat itu hujan
terus mengguyur sejak sore hari. Maka orang-orang yang menunggui pasien
yang dirawat di ruang ICU, sejak sore telah mengkapling-kapling teras
luar bangunan ICU. Maklum, di malam hari penunggu tidak boleh memasuki
bagian dalam ruang ICU. Dan pasien biasanya memanfaatkan teras yang ada
untuk tiduran atau duduk mengobrol. Dan malam itu, karena guyuran hujan,
lahan untuk tidur jadi menyempit karena pada beberapa bagian tempias
oleh air hujan.
Sementara aku dan Bu
Hari yang baru mencari kapling setelah makan malam di kantin, menjadi
tidak kebagian tempat. Setelah mencari cukup lama, akhirnya aku
mengusulkan untuk menggelar tikar dan karpet di dekat bangunan kamar
mayat. Aku mengusulkan itu karena jaraknya masih cukup dekat dgn ruang
ICU dan itu satu-satunya tempat yang memungkinkan untuk berteduh kendati
cukup gelap karena tidak ada penerangan di sana. Awalnya Bu Hari
menolak, karena posisinya di dekat kamar mayat. Namun akhirnya ia
menyerah setelah mengetahui tidak ada tempat yang lain dan aku
menyatakan siap berjaga sepanjang malam. “Janji ya Rhid (setelah cukup
akrab Bu Hari tidak mengembel-embeli sebutan Nak di depan nama
panggilanku),
kamu harus bangunkan ibu kalau mau kencing atau beli
rokok. Soalnya ibu takut ditinggal sendirian,” katanya. “Wah,
persediaan rokokku lebih dari cukup kok bu. Jadi tidak perlu kemana-mana
lagi,” jawabku.
Nyaman juga ternyata menempati kapling dekat
kamar mayat. Bisa terbebas dari lalu-lalang orang hingga bisa
beristirahat cukup tenang. Dan kendati gelap tanpa penerangan, bisa
terbebas dari cipratan air hujan karena tempat kami menggelar tikar dan
karpet terlindung oleh tembok setinggi sekitar setengah meter. Sambil
tiduran agak merapat karena sempitnya ruang yang ada, Bu Hari mengajakku
ngobrol tentang banyak hal. Dari soal kerinduannya pada Dewi, anaknya
yang hanya bisa pulang setahun sekali saat lebaran sampai ke soal
penyakit yang diderita Pak Hariiono.
Menurut Bu Hari penyakit
diabetis itu diderita suaminya sejak delapan tahun lalu. Dan karena
penyakit itulah penyakit radang lambung yang datang belakangan menjadi
sulit disembuhkan.
“Katanya penyakit diabetes bisa menjadikan laki-laki jadi impotensi ya Bu?”
“Kata siapa, Rhid?”
“Eh,.. anu, kata artikel di sebuah koran,” jawabku agak tergagap.
Aku merasa tidak enak berkomentar seperti itu terhadap penyakit yang diderita suami Bu Hari.
“Rupanya
kamu gemar membaca ya. Benar kok itu, makanya penyakit kencing manis di
samping menyiksa suami yang mengidapnya juga berpengaruh pada istrinya.
Untung ibu sudah tua,” ujarnya lirih.
Merasa tidak enak topik
perbincangan itu dapat membangkitkan kesedihan Bu Hari, akhirnya aku
memilih diam. Dan aku yang tadinya tiduran dalam posisi telentang,
setelah rokok yang kuhisap kubuang, mengubah posisi tidur memunggungi
wanita itu. Sebab kendati sangat senang bersentuhan tubuh dgn wanita
itu, aku tidak mau dianggap kurang ajar. Sebab aku tidak tahu secara
pasti jalan pikiran Bu Hari yang sebenarnya. Tetapi baru saja aku
mengubah posisi tidur, tangan Bu Hari terasa mencolek pinggangku.
“Tidurmu jangan memunggungi begitu. Menghadap ke sini, ibu takut,” katanya lirih.
Aku kembali ke posisi semula, tidur telentang. Gejolak Birahi Sex
Namun
karena posisi tidur Bu Hari kelewat merapat, maka saat berbalik posisi
tanpa sengaja lenganku menyenggol buah dada wanita itu. Memang belum
menyentuh secara langsung karena ia mengenakan daster dan selimut yang
menutupi tubuhnya. Malangnya, Bu Hari bukannya menjauh atau
merenggangkan tubuh, tetapi malah semakin merapatkan tubuhnya ke
tubuhku. Seperti anak kecil yang ketakutan saat tidur dan mencari
perasaan aman pada ibunya. Akhirnya, dgn keberanian yang kupaksakan –
karena ku yakin saat itu Bu Hari belum pulas tertidur – aku mulai
mencoba-coba. Seperti yang dimauinya, aku mengubah kembali posisi tidur
miring menghadapinya. Jadilah sebagian besar tubuhku merapat ketat ke
tubuhnya hingga terasa kehangatan mulai menjalari tubuhku. Sampai di
situ aku berbuat seolah-olah telah mulai lelap tertidur sambil menunggu
reaksinya.
Reaksinya, Bu Hari terbangkit dan menarik selimut yang
dikenakannya. Selimut besar dan tebal itu ditariknya untuk dibentangkan
sekaligus menutupi tubuhku. Jadilah tubuh kami makin berhimpitan di
bawah satu selimut. Akhirnya, ketika aku nekad meremas telapak tangannya
dan ia membalas dgn remasan lembut, aku jadi mulai berani beraksi lebih
jauh. Kumulai dgn menjalari pahanya dari luar daster yang dikenakannya
dgn telapak tanganku. Ia menggelinjang, tetapi tidak menolakkan tanganku
yang mulai nakal itu. Malah posisi kakinya mulai direnggangkan yang
memudahkanku menarik ke atas bagian bawah dasternya. Baru ketika usapan
tanganku mulai menjelajah langsung pada kedua pahanya, kuketahui secara
pasti ia tidak menolaknya. Tanganku malah dibimbingnya untuk menyentuh
kemaluannya yang masih tertutup celana dalam. Seperti keinginanku dan
juga keinginannya, telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap bagian
membusung yang ada di selangkangan wanita itu. Ia mendesah lirih saat
usapan tanganku cukup lama bermain di sana. Juga saat tanganku yang lain
mulai meremasi buah dadanya dari bagian luar Bra dan dasternya.
Sampai
akhirnya, ketika tanganku yang beroperasi di bagian bawah telah
berhasil menyelinap ke bagian samping celana dalam dan berhasil
mencolek-colek celah kemaluannya yang banyak ditumbuhi rambut, dia dgn
suka rela memereteli sendiri kancing bagian depan dasternya. Lalu
seperti wanita yang hendak menyusui bayinya, dikeluarkannya payudaranya
dari Bra yang membungkusnya. Layaknya bayi yang tengah kelaparan mulutku
segera menyerbu puting susu sebelah kiri milik Bu Hari. Kujilat-jilat
dan kukulum pentilnya yang terasa mencuat dan mengeras di mulutku.
Bahkan karena gemas, sesekali kubenamkan wajahku ke kedua payudara
wanita itu. Payudara berukuran besar dan agak mengendur namun masih
menyisakan kehangatan. Sementara Ia sendiri, sambil terus mendesis dan
melenguh nikmat oleh segala gerakan yang kulakukan, mulai asyik dgn
mainannya. Setelah berhasil menyelinap ke balik celana pendek yang
kukenakan, tangannya mulai meremas dan meremas penisku yang memang telah
mengeras. Kata teman-temanku, senjataku tergolong long size, hingga Ia
nampak keasyikkan dgn temuannya itu. Tetapi ketika aku hendak menarik
celana dalamnya, tubuhnya terasa menyentak dan kedua pahanya dirapatkan
mencoba menghalangi maksudku.
“Mau apa Rhid,.. jangan di sini ah nanti ketahuan orang,” katanya lirih.
“Ah,
tidak apa-apa gelap kok. Orang-orang juga sudah pada tidur dan tidak
bakalan kedengaran karena hujannya makin besar.” Hujan saat itu memang
semakin deras.Entah karena mempercayai omonganku. Atau karena nafsunya
yang juga sudah memuncak terbukti dgn semakin membanjirnya cairan di
lubang kemaluannya, ia mau saja ketika celananya kutarik ke bawah.
Bahkan ia menarik celana dalamnya ketika aku kesulitan melakukannya. Ia
juga membantu membuka dan menarik celana pendek dan celana dalam yang
kukenakan.
Akhirnya, dgn hanya menyingkap daster yang dikenakannya
aku mulai menindih tubuhnya yang berposisi mengangkang. Karena
dilakukan di dalam gelap dan tetap dibalik selimut tebal yang kupakai
bersama untuk menutupi tubuh, awalnya cukup sulit untuk mengarahkan
penisku ke lubang kenikmatannya. Namun berkat bimbingan tangan
lembutnya, ujung penisku mulai menemukan wilayah yang telah membasah.
Slep..
penis besarku berhasil menerobos dgn mudah liang sanggamanya. Aku mulai
menggoyang dan memaju-mundurkan senjataku dgn menaik-turunkan pantatku.
Basah dan hangat terasa setiap penisku membenam di vaginanya. Sementara
sambil terus meremasi kedua buah dadanya secara bergantian, sesekali
bibirnya kulumat. Maka ia pun melenguh tertahan, melenguh dan mengerang
tertahan.
Ah, dugaanku memang tidak meleset tubuhnya memang masih
menjanjikan kehangatan. Kehangatan yang prima khas dimiliki wanita
berpengalaman. Dihujam bertubi-tubi oleh ketegangan penisku di bagian
kewanitannya, Ia mulai mengimbangi aksiku. Pantat besar besarnya mulai
digerakkan memutar mengikuti gerakan naik turun tubuhku di bagian bawah.
Memutar dan terus memutar dgn gerak dan goyang pinggul yang terarah.
Hal itu menjadikan penisku yang terbenam di dalam vaginanya serasa
diremas. Remasan nikmat yang melambungkan jauh anganku entah kemana.
Bahkan sesekali otot-otot yang ada di dalam vaginanya seolah menjepit
dan mengejang.
“Ah,.. ah.. enak sekali. Terus, ah.. ah,”
“Aku
juga enak Rhid, uh.. uh.. uh. Sudah lama sekali tidak merasakan seperti
ini. Apalagi punyamu keras dan penjang. Auh,.. ah.. ah,” Sampai
akhirnya, aku menjadi tidak tahan oleh goyangan dan remasan vaginanya
yang kian membanjir. Nafsuku kian naik ke ubun-ubun dan seolah mau
meledak. Gerakan bagian bawah tubuhku kian kencang mencolok dan mengocok
vaginanya dgn penisku.
“Aku tidak tahan, ah.. ah.. Sepertinya mau keluar, shh, ah, .. ah,”
“Aku
juga Rhid, terus goyang, ya .. ya,.. ah,” Setelah mengelojot dan
memuntahkan segala yang tak dapat kubendungnya, aku akhirnya ambruk di
atas tubuh wanita itu. Maniku cukup banyak menyembur di dalam lubang
kenikmatannya. Begitupun Ia, setelah kontraksi otot-otot yang sangat
kencang, ia meluapkan ekspresi puncaknya dgn mendekap erat tubuhku.Dan
bahkan kurasakan punggungku sempat tercakar oleh kuku-kukunya.
Cukup lama kami terdiam setelah pertarungan panjang yang melelahkan.
“Semestinya
kita tidak boleh melakukan itu ya Rhid. Apalagi bapak lagi sakit dan
tengah dirawat,” kata Ia sambil masih tiduran di dekatku. Aku mengira ia
menyesal dgn peristiwa yang baru terjadi itu.
“Ya Maaf Bu,.. soalnya tadi,..”
“Tetapi
tidak apa-apa kok. Saya juga sudah lama ingin menikmati yang seperti
itu. Soalnya sejak 5 tahun lebih Pak Hari terkena diabetis, ia menjadi
sangat jarang memenuhi kewajibannya. Bahkan sudah dua tahun ini
kelelakiannya sudah tidak berfungsi lagi. Cuma, kalau suatu saat ingin
melakukannya lagi, kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu dan
menimbulkan aib diantara kita,” ujarnya lirih.
Plong, betapa lega
hatiku saat itu. Ia tidak marah dan menyesal dgn yang baru saja
terjadi. Dan yang membuatku senang, aku dapat melampiaskan hasrat
terpendamku kepadanya. Kendati aku merasa belum puas karena semuanya
dilakukan di kegelapan hingga keinginanku melihat ketelanjangan tubuhnya
belum kesampaian. Dan seperti yang dipesankannya, aku berusaha mencoba
bersikap sewajar mungkin saat berada diantara orang-orang. Seolah tidak
pernah terjadi sesuatu yang luar biasa diantara kami.
Kendati aku sering harus menekan keinginan yang
menggelegak akibat darah mudaku yang gampang panas saat berdekatan
dgnnya. Dan sejak itu lokasi teras di belakang kamar mayat menjadi saksi
sekitar tiga kali hubungan sumbang kami. Hubungan sumbang yang terpaksa
kuhentikan seiring kedatangan Bu Haritini, adik Pak Hariiono yang
bermaksud menengok kondisi sakit kakaknya.
Hanya terus terang,
sejak kehadirannya ada perasaan kurang senang pada diriku. Sebab sejak
Ia ada yang menemani merawat suaminya di rumah sakit, kendati aku tetap
diminta untuk membantu mereka dan selalu berada di rumah sakit, aku
tidak lagi dapat menyalurkan hasrat seksualku. Hanya sesekali kami
pernah nekad menyalurkannya di kamar mandi ketika hasrat yang ada tak
dapat ditahan. Itu pun secara kucing-kucingan dgn Bu Rina dan segalanya
dilaksanakan secara tergesa-gesa hingga tetap tidak memuaskan kami
berdua. Sampai suatu ketika, saat Pak Hari telah siuman dan perawatannya
telah dialihkan ke bangsal perawatan yang terpisah, Bu Rina menyarankan
kepada Ia untuk tidur di rumah.
“Kamu sudah beberapa hari kurang
tidur Mbak, kelihatannya sangat kelelahan. Coba kamu kalau malam tidur
barang satu dua hari di rumah hingga istirahat yang cukup dan tidak
jatuh sakit. Nanti kalau kedua-duanya sakit malah merepotkan. Biar yang
nunggu Mas Har kalau malam aku saja ditemani Dik Rhidhoo kalau mau”
ujarnya.
Ia setuju dgn saran adik iparnya. Ia memutuskan untuk
tidur di rumah malam itu. Maka hatiku bersorak karena terbuka peluang
untuk menyetubuhinya di rumah. Tetapi bagaimana caranya pamit pada Bu
Rina?
Kalau aku ikut-ikutan pulang untuk tidur di rumah apa tidak mengundang kecurigaan?
Aku
jadi berpikir keras untuk menemukan jalan keluar. Dan baru merasa plong
setelah muncul selintas gagasan di benakku. Sekitar pukul 21.00 malam,
lewat telepon umum kutelepon rumahnya. Wanita itu masih terjaga dan
menurut pengakuannya tengah menonton televisi. Maka nekad saja
kusampaikan niatku kepadanya.
Dan ternyata ia memberi sambutan cukup baik.
“Kamu
nanti memberi tanda kalau sudah ada di dekat kamar ibu ya. Nanti pintu
belakang ibu bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di rumah sakit
biar tidak kedengaran tetangga. Kamu bisa naik becak untuk pulang,”
katanya berpesan lewat telepon. Untuk tidak mengundang kecurigaan,
sekitar pukul 23.00 aku masuk ke bangsal tempat Pak Hari dirawat
menemani Bu Rina. Namun setengah jam sesudahnya, aku pamit keluar untuk
nongkrong bersama para Satpam rumah sakit seperti yang biasa kulakukan
setelah kedatangan Bu Rina. Di depan rumah sakit aku langsung meminta
seorang abang becak mengantarku ke kampungku yang berjarak tak lebih
dari satu kilometer. Segalanya berjalan sesuai rencana.
Setelah
kuketuk tiga kali pintu kamarnya, kudengar suara Ia berdehem. Dan dari
pintu belakang rumah yang dibukakannya secara pelan-pelan aku langsung
menyelinap masuk menuju ruang tengah rumah tersebut. Rupanya, bertemu di
tempat terang membuat kami sama-sama kikuk. Sebab selama ini kami
selalu berhubungan di tempat gelap di teras kamar mayat. Maka aku hanya
berdiri mematung, sedang Ia duduk sambil melihat televisi yang masih
dinyalakannya. Cukup lama kami tidak saling bicara sampai akhirnya Ia
menarik tanganku untuk duduk di sofa di sampingnya. Setelah keberanianku
mulai bangkit, aku mulai berani menatapi wanita yang duduk di
sampingku. Ia ternyata telah siap tempur. Terbukti dari daster tipis
menerawang yang dikenakannya, kulihat ia tidak mengenakan Bra di
baliknya. Maka kulihat jelas payudaranya yang membusung. Hanya, ketika
tanganku mulai bergerilya menyelusuri pangkal paha dan meremasi buah
dadanya ia menolak halus.
“Jangan di sini Rhid, kita ke kamar saja biar leluasa,” katanya lirih.
Ketika
kami telah sama-sama naik ke atas ranjang besar di kamar yang biasa
digunakan oleh suami dan dia, aku langsung menerkamnya. Semula Ia
memintaku mematikan dulu saklar lampu yang ada di kamar itu, tetapi aku
menolaknya.
“Saya ingin melihat semua milikmu,” kataku.
“Tetapi aku malu Rhid. Soalnya aku sudah tua,.”
Persetan
dgn usia, dimataku, Ia masih menyimpan magnit yang mampu menggelegakkan
darah mudaku. Sesaat aku terpaku ketika wanita itu telah melolosi
dasternya. Dua buah gunung kembarnya yang membusung nampak telah
menggantung. Tetapi tidak kehilangan daya pikatnya. Buah dada yang putih
mulus dan berukuran cukup besar itu diujungnya terlihat kedua pentilnya
yang berwarna kecoklatan. Indah dan sangat menantang untuk diremas.
Maka setelah aku melolosi sendiri seluruh pakaian yang kukenakan,
langsung kutubruk wanita yang telah tiduran dalam posisi menelentang.
Kedua payudaranya kujadikan sasaran remasan kedua tanganku. Kukulum,
kujilat dan kukenyot secara bergantian susu-susunya yang besar
menantang. Kesempatan melihat dari dekat keindahan buah dadanya membuat
aku seolah kesetanan. Dan Ia, wanita berhidung bangir dgn rambut
sepundak itu menggelepar.
Tangannya meremas-remas rambut kepalaku
mencoba menahan nikmat atas perbuatan yang tengah kulakukan. Dari kedua
gunung kembarnya, setelah beberapa saat bermain di sana, dgn terus
menjulurkan lidah dan menjilat seluruh tubuhnya kuturunkan perhatianku
ke bagian perut dan di bawah pusarnya. Hingga ketika lidahku terhalang
oleh celana dalam yang masih dikenakannya, aku langsung memelorotkannya.
Ah,
vaginanya juga tak kalah indah dgn buah dadanya. Kemaluan yang besar
membusung dan banyak ditumbuhi rambut hitam lebat itu, ketika kakinya
dikuakkan tampak bagian dalamnya yang memerah. Bibir vaginanya memang
nampak kecoklatan yang sekaligus menandakan bahwa sebelumnya telah
sering diterobos kemaluan suaminya. Tetapi bibir kemaluan itu belum
begitu menggelambir. Dan kelentitnya, yang ada di ujung atas, uh,..
mencuat menantang sebesar biji jagung. Tak tahan cuma memelototi lubang
kenikmatan wanita itu, mulailah mulutku yang bicara. Awalnya mencoba
membaui dgn hidungku. Ah, ada bau yang meruap asing di hidungku. Segar
dan membuatku tambah terangsang. Dan ketika lidahku mulai kumainkan dgn
menjilat-jilat pelan di seputar bibir vaginanya besar itu, Ia tampak
gelisah dan menggoyang-goyang kegelian.
“Ih,.. jangan diciumi dijilat begitu Rhid. Malu ah, tapi, ah..ah.. ah,”
Tetapi
ia malah menggoyangkan bagian bawah tubuhnya saat mulutku mencerucupi
liang nikmatnya. Goyangannya kian kencang dan terus mengencang.
Sampai
akhirnya diremasnya kepalaku ditekannya kuat-kuat ke bagian tengah
selangkangnya saat kelentitnya kujilat dan kugigit kecil. Rupanya ia
telah mendapatkan orgasme hingga tubuhnya terasa mengejang dan
pinggulnya menyentak ke atas.
“Seumur hidup baru kali ini vaginaku
dijilat-jilat begitu Rhid, jadinya cepat kalah. Sekarang gantian deh
Aku mainkan punyamu,” ujarnya setelah sebentar mengatur nafasnya yang
memburu. Aku dimintanya telentang, sedang kepala dia berada di bagian
bawah tubuhku. Sesaat, mulai kurasakan kepala penisku dijilat lidah
basah milik wanita itu. Bahkan ia mencerucupi sedikit air maniku yang
telah keluar akibat nafsu yang kubendung. Terasa ada sensasi tersendiri
oleh permainan lidahnya itu dan aku menggelinjang oleh permainan wanita
itu. Namun sebagai anak muda, aku merasa kurang puas dgn hanya bersikap
pasif. Terlebih aku juga ingin meremas pantat besarnya yang montok dan
seksi. Hingga aku menarik tubuh bagian bawahnya untuk ditempatkan di
atas kepalaku. Pola persetubuhan yang kata orang disebut sebagai
permainan 69. Kembali vaginanya yang berada tepat di atas wajahku
langsung menjadi sasaran gerilya mulutku. Sementara pantat besarnya
kuremas-remas dgn gemas. Tidak hanya itu jilatan lidahku tidak berhenti
hanya bermain di seputar kemaluannya. Tetapi terus ke atas dan sampai ke
lubang duburnya.
Rupanya ia telah membersihkannya dgn sabun baik
di kemaluannya maupun di anusnya. Maka tak sedikit pun meruap bau
kotoran di sana dan membuatku kian bernafsu untuk menjilat dan
mencoloknya dgn ujung lidahku. Tindakan nekadku rupanya membuat nafsunya
kembali naik ke ubun-ubun. Maka setelah ia memaksaku menghentikan
permainan 69, ia langsung mengubah posisi dgn telentang mengangkang. Dan
aku tahu pasti wanita itu telah menagih untuk disetubuhi. Ia mulai
mengerang ketika batang besar dan panjang milikku mulai menerobos gua
kenikmatannya yang basah. Hanya karena kami sama-sama telah memuncak
nafsu syahwatnya, tak lebih dari 10 menit saling genjot dan menggoyang
dilakukan, kami telah sama-sama terkapar. Ambruk di kasur empuk ranjang
kenikmatannya. Ranjang yang semestinya tabu untuk kutiduri bersama
wanita itu. Malam itu, aku dan dia melakukan persetubuhan lebih dari
tiga kali. Termasuk di kamar mandi yang dilakukan sambil berdiri.
Dan ketika aku memintanya kembali yang keempat kali, ia menolaknya halus.
“Tubuh
ibu cape sekali Rhid, mungkin sudah terlalu tua hingga tidak dapat
mengimbangi orang muda sepertimu. Dan lagi ini sudah mulai pagi, kamu
harus kembali ke rumah sakit agar Bu Rina tidak curiga,” katanya.
Aku
sempat mencium dan meremas pantatnya saat Ia hendak menutup pintu
belakang rumah mengantarku keluar. Ah,.. indah dan nikmat rasanya. Usia
Pak Hari ternyata tidak cukup panjang. Selama sebulan lebih dirawat di
rumah sakit, ia akhirnya meninggal setelah sebelumnya sempat dibawa RS
yang lebih besar di Semarang. Di Semarang, aku pun ikut menunggui
bersamanya serta Bu Rina selama seminggu. Juga ada Mbak Dina dan
suaminya yang menyempatkan diri untuk menengok. Hingga hubunganku dgn
keluarga itu menjadi kian akrab. Namun, hubungan sumbangku dgnnya terus
berlanjut hingga kini. Bahkan kami pernah nekad bersetubuh di belakang
rumah keluarga itu, karena kami sama-sama horny sementara di ruang
tengah banyak sanak famili dari keluarganya yang menginap. Entah kapan
aku akan menghentikannya, mungkin setelah gairahnya telah benar-benar
padam. Sekian cerita tante kali ini.
No comments:
Post a Comment